to realize January 26, 2011
Posted by ikět in Uncategorized.add a comment
To realize The value of a sister/brother, Ask someone Who doesn’t have one.
To realize The value of ten years, Ask a newly Divorced couple.
To realize The value of four years, Ask a graduate.
To realize The value of one year, Ask a student who Has failed a final exam.
To realize The value of nine months, Ask a mother who gave birth to a stillborn.
To realize The value of one month, Ask a mother Who has given birth to A premature baby.
To realize The value of one week, Ask an editor of a weekly newspaper.
To realize The value of one minute, Ask a person Who has missed the train, bus or plane..
To realize The value of one-second, Ask a person Who has survived an accident.
Time waits for no one. Treasure every moment you have. You will treasure it even more when You can share it with someone special.
To realize the value of a friend or family member: LOSE ONE.
Jika.. Maka.. January 26, 2011
Posted by ikět in Uncategorized.add a comment
Jika anda tinggal di rumah yang baik, memiliki cukup makanan dan dapat membaca … @ anda adalah bagian dari kelompok terpilih.
Jika anda bangun pagi ini dan merasa sehat … @ anda lebih beruntung dari jutaan orang yang mungkin tidak akan dapat bertahan hidup minggu ini.
Jika anda tidak pernah merasakan bahaya perang, kesepian karena dipenjara, kesakitan karena penyiksanaan, atau kelaparan … @ anda berada selangkah lebih maju dibandingkan 500 juta orang di dunia.
Jika anda dapat menghadiri pertemuan politik atau keagamaan tanpa merasa takut akan dilecehkan, ditangkap, disiksa, atau mati… @ anda beruntung, karena lebih dari 3 milyar orang di dunia tidak dapat melakukannya.
Jika anda memiliki makanan di lemari pendingin, baju-baju di lemari pakaian, dan memiliki atap yang menaungi tempat anda beristirahat… @ anda lebih kaya dari 75% penduduk di dunia ini.
Jika anda memiliki uang di bank, di dompet, dan mampu membelanjakan sebagian uang untuk menikmati hidangan di restoran… @ anda merupakan anggota dari 8% kelompok orang-orang kaya di dunia.
Jika orang tua anda masih hidup & menikmati kebahagiaan kehidupan pernikahan mereka… @ maka anda termasuk salah satu dari kelompok orang yang dikategorikan langka.
Jika anda mampu menegakkan kepala dengan senyuman dibibir dan merasa benar-benar bahagia… @ anda memiliki keistimewaan tersendiri, karena sebagian besar orang tidak memperoleh kenikmatan tersebut.
Jika anda dapat membaca pesan ini… @ anda baru saja menerima karunia ganda, karena seseorang memikirkan anda, dan anda jauh lebih beruntung dibandingkan lebih dari 1 milyar orang yang tidak dapat membaca sama sekali.
Semoga anda menikmati hari yang indah ini.
Hitunglah karunia keberuntungan anda, dan sampaikan hal ini kepada orang lain untuk mengingatkan bahwa sebenarnya, kita adalah orang-orang yang sangat beruntung. Dengan bersyukur, anda akan lebih menikmati hidup yang hanya sebentar ini…
Masa Muda, Waktu Utama Beramal Sholeh August 4, 2009
Posted by ikět in Uncategorized.add a comment
Alhamdulillah was shalaatu was salaamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam.
Waktu muda, kata sebagian orang adalah waktu untuk hidup foya-foya,
masa untuk bersenang-senang. Sebagian mereka mengatakan, “Kecil
dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk surga.” Inilah
guyonan sebagian pemuda. Bagaimana mungkin waktu muda foya-foya, tanpa
amalan sholeh, lalu mati bisa masuk surga[?] Sungguh hal ini dapat kita
katakan sangatlah mustahil. Untuk masuk surga pastilah ada sebab dan
tidak mungkin hanya dengan foya-foya seperti itu. Semoga melalui
risalah ini dapat membuat para pemuda sadar, sehingga mereka dapat
memanfaatkan waktu mudanya dengan sebaik-baiknya. Hanya pada Allah-lah
tempat kami bersandar dan berserah diri.
Wahai Pemuda, Hidup di Dunia Hanyalah Sementara
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasehati seorang sahabat yang tatkala itu berusia muda (berumur sekitar 12 tahun) yaitu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. (Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Syaikh Sholeh Alu Syaikh, 294). Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang pundaknya lalu bersabda,
كُنْ فِي الدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيْبٌ , أَوْ عَابِرُ سَبِيْلٍ
“Hiduplah engkau di dunia ini seakan-akan sebagai orang asing atau pengembara.” (HR. Bukhari no. 6416)
Lihatlah nasehat yang sangat bagus sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada sahabat yang masih berusia belia.
Ath Thibiy mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memisalkan orang yang hidup di dunia ini dengan orang asing (al ghorib)
yang tidak memiliki tempat berbaring dan tempat tinggal. Kemudian
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan lebih lagi
yaitu memisalkan dengan pengembara. Orang asing dapat tinggal di negeri
asing. Hal ini berbeda dengan seorang pengembara yang bermaksud menuju
negeri yang jauh, di kanan kirinya terdapat lembah-lembah, akan ditemui
tempat yang membinasakan, dia akan melewati padang pasir yang
menyengsarakan dan juga terdapat perampok. Orang seperti ini tidaklah
tinggal kecuali hanya sebentar sekali, sekejap mata.” (Dinukil dari Fathul Bariy, 18/224)
Negeri asing dan tempat pengembaraan yang dimaksudkan dalam hadits
ini adalah dunia dan negeri tujuannya adalah akhirat. Jadi, hadits ini
mengingatkan kita dengan kematian sehingga kita jangan berpanjang
angan-angan. Hadits ini juga mengingatkan kita supaya mempersiapkan
diri untuk negeri akhirat dengan amal sholeh. (Lihat Fathul Qowil Matin)
Dalam hadits lainnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Apa peduliku dengan dunia?! Tidaklah aku tinggal di dunia
melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan
beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” (HR. Tirmidzi no. 2551. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi)
‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu juga memberi petuah kepada kita,
ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً ، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ
مُقْبِلَةً ، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ ، فَكُونُوا مِنْ
أَبْنَاءِ الآخِرَةِ ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا ،
فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ
“Dunia itu akan pergi menjauh. Sedangkan akhirat akan mendekat.
Dunia dan akhirat tesebut memiliki anak. Jadilah anak-anak akhirat dan
janganlah kalian menjadi anak dunia. Hari ini (di dunia) adalah hari
beramal dan bukanlah hari perhitungan (hisab), sedangkan besok (di
akhirat) adalah hari perhitungan (hisab) dan bukanlah hari beramal.” (HR. Bukhari secara mu’allaq –tanpa sanad-)
Manfaatkanlah Waktu Muda, Sebelum Datang Waktu Tuamu
Lakukanlah lima hal sebelum terwujud lima hal yang lain. Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ وَ
صِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ وَ غِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ وَ فَرَاغَكَ
قَبْلَ شَغْلِكَ وَ حَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ
“Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara: [1] Waktu mudamu
sebelum datang waktu tuamu, [2] Waktu sehatmu sebelum datang waktu
sakitmu, [3] Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, [4] Masa
luangmu sebelum datang masa sibukmu, [5] Hidupmu sebelum datang
kematianmu.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir)
Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, maksudnya: “Lakukanlah
ketaatan ketika dalam kondisi kuat untuk beramal (yaitu di waktu muda), sebelum datang masa tua renta.”
Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, maksudnya: “Beramallah
di waktu sehat, sebelum datang waktu yang menghalangi untuk beramal
seperti di waktu sakit.”
Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, maksudnya: “Manfaatklah
kesempatan (waktu luangmu) di dunia ini sebelum datang waktu sibukmu di
akhirat nanti. Dan awal kehidupan akhirat adalah di alam kubur.”
Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, maksudnya:
“Bersedekahlah dengan kelebihan hartamu sebelum datang bencana yang
dapat merusak harta tersebut, sehingga akhirnya engkau menjadi fakir di
dunia maupun akhirat.”
Hidupmu sebelum datang kematianmu, maksudnya: “Lakukanlah sesuatu
yang manfaat untuk kehidupan sesudah matimu, karena siapa pun yang
mati, maka akan terputus amalannya.”
Al Munawi mengatakan,
فَهِذِهِ الخَمْسَةُ لَا يَعْرِفُ قَدْرَهَا إِلاَّ بَعْدَ زَوَالِهَا
“Lima hal ini (waktu muda, masa sehat masa luang, masa kaya dan
waktu ketika hidup) barulah seseorang betul-betul mengetahui nilainya
setelah kelima hal tersebut hilang.” (At Taisir Bi Syarh Al Jami’ Ash Shogir, 1/356)
Benarlah kata Al Munawi. Seseorang baru ingat kalau dia diberi
nikmat sehat, ketika dia merasakan sakit. Dia baru ingat diberi
kekayaan, setelah jatuh miskin. Dan dia baru ingat memiliki waktu
semangat untuk beramal di masa muda, setelah dia nanti berada di usia
senja yang sulit beramal. Penyesalan tidak ada gunanya jika seseorang
hanya melewati masa tersebut dengan sia-sia.
Orang yang Beramal di Waktu Muda Akan Bermanfaat untuk Waktu Tuanya
Dalam surat At Tiin, Allah telah bersumpah dengan tiga tempat
diutusnya para Nabi ‘Ulul Azmi yaitu [1] Baitul Maqdis yang terdapat
buah tin dan zaitun –tempat diutusnya Nabi ‘Isa ‘alaihis salam-, [2] Bukit Sinai yaitu tempat Allah berbicara langsung dengan Nabi Musa ‘alaihis salam, [3] Negeri Mekah yang aman, tempat diutus Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Setelah bersumpah dengan tiga tempat tersebut, Allah Ta’ala pun berfirman,
لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ (4) ثُمَّ
رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ (5) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang
serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh; maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.” (QS. At Tiin [95]: 4-6)
Maksud ayat “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya,”
ada empat pendapat. Di antara pendapat tersebut adalah “Kami telah
menciptakan manusia dengan sebaik-baiknya sebagaimana di waktu muda
yaitu masa kuat dan semangat untuk beramal.” Pendapat ini dipilh oleh
‘Ikrimah.
“Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya.”
Menurut Ibnu ‘Abbas, ‘Ikrimah, Ibrahim dan Qotadah, juga Adh Dhohak,
yang dimaksudkan dengan bagian ayat ini adalah “dikembalikan ke masa
tua renta setelah berada di usia muda, atau dikembalikan di masa-masa
tidak semangat untuk beramal setelah sebelumnya berada di masa semangat
untuk beramal.” Masa tua adalah masa tidak semangat untuk beramal.
Seseorang akan melewati masa kecil, masa muda, dan masa tua. Masa kecil
dan masa tua adalah masa sulit untuk beramal, berbeda dengan masa muda.
An Nakho’i mengatakan, “Jika seorang mukmin berada di usia senja dan
pada saat itu sangat sulit untuk beramal, maka akan dicatat untuknya
pahala sebagaimana amal yang dulu dilakukan pada saat muda. Inilah yang
dimaksudkan dengan firman Allah (yang artinya): bagi mereka pahala yang
tiada putus-putusnya.”
Ibnu Qutaibah mengatakan, “Makna firman Allah (yang artinya),
“Kecuali orang-orang yang beriman” adalah kecuali orang-orang yang
beriman di waktu mudanya, di saat kondisi fit (semangat) untuk beramal,
maka mereka di waktu tuanya nanti tidaklah berkurang amalan mereka,
walaupun mereka tidak mampu melakukan amalan ketaatan di saat usia
senja. Karena Allah Ta’ala Maha Mengetahui, seandainya mereka masih
diberi kekuatan beramal sebagaimana waktu mudanya, mereka tidak akan
berhenti untuk beramal kebaikan. Maka orang yang gemar beramal di waktu
mudanya, (di saat tua renta), dia akan diberi ganjaran sebagaimana di
waktu mudanya.” (Lihat Zaadul Maysir, 9/172-174)
Begitu juga kita dapat melihat pada surat Ar Ruum ayat 54.
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ ضَعْفٍ
قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا
يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah,
kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat,
kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha
Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS. Ar Ruum: 54)
Ibnu Katsir mengatakan, “(Dalam ayat ini), Allah Ta’ala menceritakan
mengenai fase kehidupan, tahap demi tahap. Awalnya adalah dari tanah,
lalu berpindah ke fase nutfah, beralih ke fase ‘alaqoh (segumpal
darah), lalu ke fase mudh-goh (segumpal daging), lalu berubah menjadi
tulang yang dibalut daging. Setelah itu ditiupkanlah ruh, kemudian dia
keluar dari perut ibunya dalam keadaan lemah, kecil dan tidak begitu
kuat. Kemudian si mungil tadi berkembang perlahan-lahan hingga menjadi
seorang bocah kecil. Lalu berkembang lagi menjadi seorang pemuda,
remaja. Inilah fase kekuatan setelah sebelumnya berada dalam keadaan
lemah. Lalu setelah itu, dia menginjak fase dewasa (usia 30-50 tahun).
Setelah itu dia akan melewati fase usia senja, dalam keadaan penuh
uban. Inilah fase lemah setelah sebelumnya berada pada fase kuat. Pada
fase inilah berkurangnya semangat dan kekuatan. Juga pada fase ini
berkurang sifat lahiriyah maupun batin. Oleh karena itu, Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), “kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat
itu lemah (kembali) dan beruban”.” (Tafsir Al Qur’an Al Azhim pada surat Ar Ruum ayat 54)
Jadi, usia muda adalah masa fit (semangat) untuk beramal. Oleh
karena itu, manfaatkanlah dengan sebaik-baiknya. Janganlah disia-siakan.
Jika engkau masih berada di usia muda, maka janganlah katakan: jika berusia tua, baru aku akan beramal.
Daud Ath Tho’i mengatakan,
إنما الليل والنهار مراحل ينزلها الناس مرحلة مرحلة حتى ينتهي ذلك بهم
إلى آخر سفرهم ، فإن استطعت أن تـُـقدِّم في كل مرحلة زاداً لما بين يديها
فافعل ، فإن انقطاع السفر عن قريب ما هو ، والأمر أعجل من ذلك ، فتزوّد
لسفرك ، واقض ما أنت قاض من أمرك ، فكأنك بالأمر قد بَغَـتـَـك
Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia
sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika engkau mampu
menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah.
Berakhirnya safar boleh jadi dalam waktu dekat. Namun, perkara akhirat
lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri
akhirat). Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, kematian
itu datangnya tiba-tiba. (Kam Madho Min ‘Umrika?, Syaikh Abdurrahman As Suhaim)
Semoga maksud kami dalam tulisan ini sama dengan perkataan Nabi Syu’aib,
إِنْ أُرِيدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ
“Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku
masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan
(pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya
kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud [11]: 88)
Semoga Allah memperbaiki keadaan segenap pemuda yang membaca risalah
ini. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan
yang lurus.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa
sallam.
Sabtu Pagi, 17 Rabi’ul Awwal 1430 H
Yang sangat butuh pada ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal
Jangan Tangisi Apa Yang Bukan Milikmu August 4, 2009
Posted by ikět in Uncategorized.add a comment
Source: http://faiscun.multiply.com/reviews/item/19
–begins–
Dalam perjalanan hidup ini seringkali kita merasa kecewa. Kecewa sekali. Sesuatu yang luput dari genggaman, keinginan yang tidak tercapai, kenyataan yang tidak sesuai harapan. Akhirnya angan ini lelah berandai-andai ria. Sungguh semua itu telah hadirkan nelangsa yang begitu menggelora dalam jiwa.
Dan sungguh sangat beruntung andai dalam saat-saat terguncangnya jiwa, masih ada setitik cahaya dalam kalbu untuk merenungi kebenaran. Masih ada kekuatan untuk melangkahkan kaki menuju majlis-majlis ilmu, majlis-majlis dzikir yang akan mengantarkan pada ketenteraman jiwa.
Hidup ini ibarat belantara. Tempat kita mengejar berbagai keinginan. Dan memang manusia diciptakan mempunyai kehendak, mempunyai keinginan. Tetapi tidak setiap yang kita inginkan bisa terbukti, tidak setiap yang kita mahu bisa tercapai. Dan tidak mudah menyadari bahwa apa yang bukan menjadi hak kita tak perlu kita tangisi. Banyak orang yang tidak sadar bahwa hidup ini tidak punya satu hukum: harus sukses, harus bahagia atau harus-harus yang lain.
Betapa banyak orang yang sukses tetapi lupa bahwa sejatinya itu semua pemberian Allah hingga membuatnya sombong dan bertindak sewenang-wenang. Begitu juga kegagalan sering tidak dihadapi dengan benar. Padahal dimensi tauhid dari kegagalan adalah tidak tercapainya apa yang memang bukan hak kita. Padahal hakekat kegagalan adalah tidak terengkuhnya apa yang memang bukan hak kita.
Apa yang memang menjadi jatah kita di dunia, entah itu rizki, jabatan atau kedudukan, pasti akan Allah sampaikan. Tetapi apa yang memang bukan milik kita, ia tidak akan kita bisa miliki. Meski ia nyaris menghampiri kita, meski kita mati-matian mengusahakannya.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri..” (al-Hadiid: 22-23)
Demikian juga bagi yang sedang galau terhadap jodoh. Kadang kita tak sadar mendikte Allah tentang jodoh kita, bukannya meminta yang terbaik dalam istikharah kita tetapi benar-benar mendikte Allah: “Pokoknya harus dia Ya Allah! Harus dia, karena aku sangat mencintainya. ” Seakan kita jadi yang menentukan segalanya, kita meminta dengan paksa. Dan akhirnya kalau pun Allah memberikannya maka tak selalu itu yang terbaik. Bisa jadi Allah tak mengulurkannya tidak dengan kelembutan, tapi melemparkannya dengan marah karena niat kita yang terkotori.
Maka wahai jiwa yang sedang gundah, dengarkan ini dari Allah:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kamu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kamu. Allah Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)
Maka setelah ini wahai jiwa, jangan kau hanyut dalam nestapa jiwa berkepanjangan terhadap apa-apa yang luput darimu. Setelah ini harus benar-benar dipikirkan bahwa apa-apa yang kita rasa perlu di dunia ini harus benar-benar perlu, bila ada relevansinya dengan harapan kita akan bahagia di akhirat. Karena seorang Mu’min tidak hidup untuk dunia, tetapi menjadikan dunia untuk mencari hidup yang sesungguhnya: hidup di akhirat kelak.
Maka sudahlah, jangan kau tangisi apa yang bukan milikmu!
“Dalam perjalanan hidup ini seringkali kita merasa kecewa. Kecewa sekali. Sesuatu yang luput dari genggaman, keinginan yang tidak tercapai, kenyataan yang tidak sesuai harapan. Akhirnya angan ini lelah berandai-andai ria. Sungguh semua itu telah hadirkan nelangsa yang begitu menggelora dalam jiwa.
Dan sungguh sangat beruntung andai dalam saat-saat terguncangnya jiwa, masih ada setitik cahaya dalam kalbu untuk merenungi kebenaran. Masih ada kekuatan untuk melangkahkan kaki menuju majlis-majlis ilmu, majlis-majlis dzikir yang akan mengantarkan pada ketenteraman jiwa.
Hidup ini ibarat belantara. Tempat kita mengejar berbagai keinginan. Dan memang manusia diciptakan mempunyai kehendak, mempunyai keinginan. Tetapi tidak setiap yang kita inginkan bisa terbukti, tidak setiap yang kita mahu bisa tercapai. Dan tidak mudah menyadari bahwa apa yang bukan menjadi hak kita tak perlu kita tangisi. Banyak orang yang tidak sadar bahwa hidup ini tidak punya satu hukum: harus sukses, harus bahagia atau harus-harus yang lain.
Betapa banyak orang yang sukses tetapi lupa bahwa sejatinya itu semua pemberian Allah hingga membuatnya sombong dan bertindak sewenang-wenang. Begitu juga kegagalan sering tidak dihadapi dengan benar. Padahal dimensi tauhid dari kegagalan adalah tidak tercapainya apa yang memang bukan hak kita. Padahal hakekat kegagalan adalah tidak terengkuhnya apa yang memang bukan hak kita.
Apa yang memang menjadi jatah kita di dunia, entah itu rizki, jabatan atau kedudukan, pasti akan Allah sampaikan. Tetapi apa yang memang bukan milik kita, ia tidak akan kita bisa miliki. Meski ia nyaris menghampiri kita, meski kita mati-matian mengusahakannya.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri..” (al-Hadiid: 22-23)
Demikian juga bagi yang sedang galau terhadap jodoh. Kadang kita tak sadar mendikte Allah tentang jodoh kita, bukannya meminta yang terbaik dalam istikharah kita tetapi benar-benar mendikte Allah: “Pokoknya harus dia Ya Allah! Harus dia, karena aku sangat mencintainya. ” Seakan kita jadi yang menentukan segalanya, kita meminta dengan paksa. Dan akhirnya kalau pun Allah memberikannya maka tak selalu itu yang terbaik. Bisa jadi Allah tak mengulurkannya tidak dengan kelembutan, tapi melemparkannya dengan marah karena niat kita yang terkotori.
Maka wahai jiwa yang sedang gundah, dengarkan ini dari Allah:
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagi kamu. Dan boleh jadi kamu mencintai sesuatu, padahal ia amat buruk bagi kamu. Allah Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (al-Baqarah: 216)
Maka setelah ini wahai jiwa, jangan kau hanyut dalam nestapa jiwa berkepanjangan terhadap apa-apa yang luput darimu. Setelah ini harus benar-benar dipikirkan bahwa apa-apa yang kita rasa perlu di dunia ini harus benar-benar perlu, bila ada relevansinya dengan harapan kita akan bahagia di akhirat. Karena seorang Mu’min tidak hidup untuk dunia, tetapi menjadikan dunia untuk mencari hidup yang sesungguhnya: hidup di akhirat kelak.
Maka sudahlah, jangan kau tangisi apa yang bukan milikmu!
Syirik yang Sering Diucapkan August 4, 2009
Posted by ikět in Uncategorized.add a comment
”Janganlah engkau menjadikan si fulan (sebagai sekutu bagi Allah, pen) dalam ucapan-ucapan tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan SYIRIK.” (HR. Ibnu Abi Hatim) Kaum muslimin yang semoga selalu mendapatkan taufiq Allah Ta’ala. Kita semua telah mengetahui bahwa Allah adalah satu-satunya Rabb (Tuhan) alam semesta, Yang menciptakan kita dan orang-orang sebelum kita, Yang menjadikan bumi sebagai hamparan untuk kita mencari nafkah, dan Yang menurunkan hujan untuk menyuburkan tanaman sebagai rizki bagi kita. Setelah kita mengetahui demikian, hendaklah kita hanya beribadah kepada Allah semata dan tidak menjadikan bagi-Nya tandingan/sekutu dalam beribadah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah [2]: 22) Lebih samar dari jejak semut di atas batu hitam di tengah kegelapan malam Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma –yang sangat luas dan mendalam ilmunya- menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan,”Yang dimaksud membuat sekutu bagi Allah (dalam ayat di atas, pen) adalah berbuat syirik. Syirik adalah suatu perbuatan dosa yang lebih sulit (sangat samar) untuk dikenali daripada jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan malam.” Kemudian Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma mencontohkan perbuatan syirik yang samar tersebut seperti, ‘Demi Allah dan demi hidupmu wahai fulan’, ‘ Demi hidupku’ atau ‘Kalau bukan karena anjing kecil orang ini, tentu kita didatangi pencuri-pencuri itu’ atau ‘Kalau bukan karena angsa yang ada di rumah ini tentu datanglah pencuri-pencuri itu’, dan ucapan seseorang kepada kawannya ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, juga ucapan seseorang ‘Kalau bukan karena Allah dan karena fulan’. Akhirnya beliau radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, ”Janganlah engkau menjadikan si fulan (sebagai sekutu bagi Allah, pen) dalam ucapan-ucapan tersebut. Semua ucapan ini adalah perbuatan SYIRIK.” (HR. Ibnu Abi Hatim) (Lihat Kitab Tauhid, Syaikh Muhammad At Tamimi) Itulah syirik. Ada sebagian yang telah diketahui dengan jelas seperti menyembelih, bernadzar, berdo’a, meminta dihilangkan musibah (istighotsah) kepada selain Allah. Dan terdapat pula bentuk syirik (seperti dikatakan Ibnu Abbas di atas) yang sangat sulit dikenali (sangat samar). Syirik seperti ini ada 2 macam. Pertama, syirik dalam niat dan tujuan. Ini termasuk perbuatan yang samar karena niat terdapat dalam hati dan yang mengetahuinya hanya Allah Ta’ala. Seperti seseorang yang shalat dalam keadaan ingin dilihat (riya’) atau didengar (sum’ah) orang lain. Tidak ada yang mengetahui perbuatan seperti ini kecuali Allah Ta’ala. Kedua, syirik yang tidak diketahui oleh kebanyakan manusia. Syirik seperti ini adalah seperti syirik dalam ucapan (selain perkara i’tiqod/keyakinan). Syirik semacam inilah yang akan dibahas pada kesempatan kali ini. Karena kesamarannya lebih dari jejak semut yang merayap di atas batu hitam di tengah kegelapan malam. Oleh karena itu, sedikit sekali yang mengetahui syirik seperti ini secara jelas. (Lihat I’anatul Mustafid bisyarh Kitabut Tauhid, hal. 158, Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan) Berikut ini akan disebutkan beberapa contoh syirik yang masih samar, dianggap remeh, dan sering diucapkan dengan lisan oleh manusia saat ini. Mencela Makhluk yang Tidak Dapat Berbuat Apa-apa Perbuatan seperti ini banyak dilakukan oleh kebanyakan manusia saat ini –barangkali juga kita-. Lidah ini begitu mudahnya mencela makhluk yang tidak mampu berbuat sedikit pun, seperti di antara kita sering mencela waktu, angin, atau pun hujan. Misalnya dengan mengatakan, ‘Bencana ini bisa terjadi karena bulan ini adalah bulan Suro’ atau mengatakan ‘Sialan! Gara-gara angin ribut ini, kita gagal panen’ atau dengan mengatakan pula, ‘Aduh!! hujan lagi, hujan lagi’. Lidah ini begitu mudah mengucapkan perkataan seperti itu. Padahal makhluk yang kita cela tersebut tidak mampu berbuat apa-apa kecuali atas kehendak Allah. Mencaci mereka pada dasarnya telah mencaci, mengganggu dan menyakiti yang telah menciptakan dan mengatur mereka yaitu Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ala berfirman, ‘Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.” (HR. Tirmidzi, beliau mengatakan hasan shohih). Dari dalil-dalil ini terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu), angin dan makhluk lain yang tidak dapat berbuat apa-apa adalah terlarang. Larangan ini bisa termasuk syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam) jika diyakini makhluk tersebut sebagai pelaku dari sesuatu yang jelek yang terjadi. Meyakini demikian berarti meyakini bahwa makhluk tersebut yang menjadikan baik dan buruk dan ini sama saja dengan menyatakan ada pencipta selain Allah. Namun, jika diyakini yang menakdirkan adalah Allah sedangkan makhluk-makhluk tersebut bukan pelaku dan hanya sebagai sebab saja, maka seperti ini termasuk keharaman, tidak sampai derajat syirik. Dan apabila yang dimaksudkan cuma sekedar pemberitaan, -seperti mengatakan,’Hari ini sangat panas sekali, sehingga kita menjadi capek’-, tanpa tujuan mencela sama sekali maka seperti ini tidaklah mengapa. Bersumpah dengan menyebut Nama selain Allah Bersumpah dengan nama selain Allah juga sering diucapkan oleh orang-orang saat ini, seperti ucapan, ‘Demi Nyi Roro Kidul’ atau ‘Aku bersumpah dengan nama …’. Semua perkataan seperti ini diharamkan bahkan termasuk syirik. Karena hal tersebut menunjukkan bahwa dalam hatinya mengagungkan selain Allah kemudian digunakan untuk bersumpah. Padahal pengagungan seperti ini hanya boleh diperuntukkan kepada Allah Ta’ala semata. Barangsiapa mengagungkan selain Allah Ta’ala dengan suatu pengagungan yang hanya layak diperuntukkan kepada Allah Ta’ala, maka dia telah terjatuh dalam syirik akbar (syirik yang mengeluarkan seseorang dari Islam). Namun, apabila orang yang bersumpah tersebut tidak meyakini keagungan sesuatu yang dijadikan sumpahnya tersebut sebagaimana keagungan Allah Ta’ala, maka dia telah terjatuh dalam syirik ashgor (syirik kecil yang lebih besar dari dosa besar). Berhati-hatilah dengan bersumpah seperti ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda yang artinya, ”Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kekafiran atau kesyirikan.” (HR. Tirmidzi dan Hakim dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jaami’) Menyandarkan nikmat kepada selain Allah Perbuatan ini juga dianggap sepele oleh kebanyakan orang saat ini. Padahal menyandarkan nikmat kepada selain Allah termasuk syirik dan kekufuran kepada-Nya. Allah Ta’ala mengatakan tentang orang yang mengingkari nikmat Allah dalam firman-Nya yang artinya,”Mereka mengetahui nikmat Allah, kemudian mereka mengingkarinya dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang kafir.” (An Nahl: 83) Menurut salah satu penafsiran ayat ini : ‘Mereka mengenal berbagai nikmat Allah (yaitu semua nikmat yang disebutkan dalam surat An Nahl) dengan hati mereka, namun lisan mereka menyandarkan berbagai nikmat tersebut kepada selain Allah. Atau mereka mengatakan nikmat tersebut berasal dari Allah, akan tetapi hati mereka menyandarkannya kepada selain Allah’. Menyandarkan nikmat kepada selain Allah termasuk syirik karena orang yang menyadarkan nikmat kepada selain Allah berarti telah menyatakan bahwa selain Allah-lah yang telah memberikan nikmat (ini termasuk syirik dalam tauhid rububiyah). Dan ini juga berarti dia telah meninggalkan ibadah syukur. Meninggalkan syukur berarti telah menafikan (meniadakan) tauhid. Setiap hamba mempunyai kewajiban untuk bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Contoh dari hal ini adalah mengatakan ‘Rumah ini adalah warisan dari ayahku’. Jika memang cuma sekedar berita tanpa melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu Allah, maka perkataan ini tidaklah mengapa. Namun, yang dimaksudkan termasuk syirik di sini adalah jika dia mengatakan demikian dan melupakan Sang Pemberi Nikmat yaitu Allah Ta’ala. Marilah kita berusaha tatkala mendapatkan nikmat, selalu bersyukur pada Allah dengan memenuhi 3 rukun syukur, yaitu: [1] Mensykuri nikmat tersebut dengan lisan, [2] Mengakui nikmat tersebut berasal dari Allah dengan hati, dan [3] Berusaha menggunakan nikmat tersebut dengan melakukan ketaatan kepada Allah. (Lihat I’anatul Mustafid, hal. 148-149 dan Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, II/93) Perbaikilah Diri Jarang sekali manusia mengetahui bahwa hal-hal di atas termasuk kesyirikan dan kebanyakan orang selalu menyepelekan hal ini dengan sering mengucapkannya . Padahal Allah Ta’ala telah berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni dosa yang berada di bawah syirik bagi siapa yang dikehendaki-Nya. (QS. An Nisa [4]: 116). Oleh karena itu, sangat penting sekali bagi kita untuk mempelajari aqidah di mana perkara ini sering dilalaikan dan jarang dipelajari oleh kebanyakan manusia. Aqidah adalah poros dari seluruh perkara agama. Jika aqidah telah benar, maka perkara lainnya juga akan benar. Jika aqidah rusak, maka perkara lainnya juga akan rusak. Hendaknya pula kita memperbaiki diri dengan selalu memikirkan terlebih dahulu apa yang kita hendak ucapkan. Ingatlah sabda Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang diridhai Allah namun tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah mengangkat derajatnya. Namun boleh jadi seseorang mengucapkan suatu kata yang dimurkai Allah dan tidak ia sadari, sehingga karena ucapannya ini Allah memasukkannya dalam neraka.” (HR. Bukhari) Jika kita sudah terlanjur melakukan syirik yang samar ini, maka leburlah dengan do’a yang pernah diucapkan Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam: ’Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika sya’an wa ana a’lamu wa astaghfiruka minadz dzanbilladzi laa a’lamu’ (Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan menyukutakan-Mu dengan sesuatu padahal aku mengetahuinya. Aku juga memohon ampunan kepada-Mu dari kesyirikan yang tidak aku sadari) (HR. Ahmad).
*** Penulis : Muhammad Abduh Tuasikal
Mertuaku adalah orangtuaku March 13, 2009
Posted by ikět in nICE.add a comment
oleh Ummu Mufais
dr Eramuslim
Kamis, 12/03/2009 08:04 WIB
Ketika seorang wanita menikah, maka tanggung jawab orang tuanya sudah terlepas, karena kini tanggung jawab itu beralih pada sang suami, dan kewajiban sebagai istri adalah memenuhi hak-hak si suami, demikian juga suami terhadap istri. Namun ada yang perlu kita ketahui, kita menikah bukan pada suami kita saja, melainkan pada semua keluarga besar dan juga kedua orang tuanya.
kadang sering terjadi perselisihan memang antara kita dengan keluarga suami, karena dua karakter keluarga dan adat yang berbeda bersatu menjadi keluarga besar. Tapi kita sebagai seorang muslimah yang baik harus mengerti dan memahami. Kita menjadi istri dari anak mertua kita, yang selama ini telah membesarkannya dan berharap suatu hari nanti si anak akan menjaga dan menyayanginya hingga mereka kembali kepada sang khaliq, maka wajarlah kadang bila anaknya ingin menikah, orang tua dari calon mempelai laki-laki menyeleksi calon menantunya terlebih dahulu, sebelum menerimanya menjadi bagian dari keluarga besar mereka.
Beberapa hari lalu seorang teman minta di telfun oleh saya. Dia bilang ingin curhat dengan saya tentang adik iparnya itu, sebenarnya dia sendiri adalah seorang menantu, dan mempunyai adik ipar yang sudah menikah, jadi yang ingin dia ceritakan adalah istri dari adik iparnya itu, dan kebetulan adiknya itu menikah dengan orang yang sama-sama kami pernah kenal dulu. Maksudnya adalah dia ingin sekali mencari solusi bagaimana mengatasi hal ini, karena dia merasa bertanggung jawab dalam hal ini, kenapa…? karena dia yang dulu mengenalkan nya pada adik iparnya itu. Jadi bukan bermaksud untuk ghibah.
Ceritanya memang sangat mengharukan, karena saya benar-banar tidak manyangka sama sekali, saya mengenal teman (adik ipar teman saya) itu adalah orang yang baik, tapi kini jadi berubah. teman saya bercerita istri adik iparnya itu kini tidak punya sopan santun sama sekali dengan ibu mertuanya, apa lagi ketika sempat si adik ipar itu menginap beberapa minggu di rumah mertuanya. Teman saya bercerita kadang adik iparnya itu, suka ketus bila berbicara pada ibu mertuanya. Saya tidak bisa berbuat apa-apa, karena saya tidak tahu permasalahan yang sebenarnya, jadi saya hanya memberi saran, agar teman saya itu berbicara pada suaminya, maksudnya adik iparnya yang laki-laki, agar dia menasehati istrinya itu.
Sedih sekali saya mendengar cerita teman saya ini, terbayang saya wajah wanita tua itu, mertua dari teman saya, karena saya pernah bertemu dengannya saat liburan tahun lalu. Beliau sudah sangat tua dan beliau mengasuh anak-anaknya sendiri, karena suaminya telah meninggalkannya kembali kepada sang khaliq, ketika anak-anaknya masih kecil-kecil. Betapa sedih hati nya mendapati menantu yang tidak menyayangi dan menghargainya. Terbayang pula oleh saya kedua orang tua suami saya yang sudah renta, beliau tinggal hanya berdua saja, sedangkan kedua anaknya sudah berkeluarga dan tinggal jauh darinya. Walaupun saya atau suami sering menelfunnya, tapi saya yakin beliau ingin sekali berdekatan dengan anak, manantu dan cucu-cucunya.
Saya jadi ingat cerita tentang Nabi Ibrahim, Ketika itu Nabi Ibrahim berkunjung kerumah anaknya Nabi ismail dan saat itu hanya istri nabi ismail lah yang berada di rumah, lalu Nabi Ibrahim bertanya pada istri Nabi ismail, tentang keadaan rumah tangganya, dan di jawab oleh istri nabi ismail dengan ketus serta membuat Nabi Ibrahim tidak suka mendengarnya, maka ketika Nabi Ibrahim hendak pergi meninggalkan rumah itu, Beliau menitip salam untuk Nabi Ismail pada istrinya, agar segera mengganti tiang pintu rumahnya itu. ketika Nabi Ismail kembali salam itu si sampaikannya, Nabi Ismail tahu, bahwa yang berkunjung tadi adalah ayahnya dan saat itu juga Nabi Ismail segera menceraikan istrinya serta mengembalikannya kepada kedua orang tuanya.
Apakah harus demikian dengan kita, tidak…! Kita InsyaAllah bisa lebih baik dari istri Nabi ismail, dalam berbicara dan sopan santun kita kepada mertua kita, karena beliau adalah orang tua kita, setelah kita menjadi istri dari suami kita. Berfikirlah lebih baik wahai Ukhti, karena kita adalah seorang Ibu, dan anak kita kelak akan menikah nanti. Saya juga sempat merasakan hal itu, namun ketahuilah, bahwa semua yang di lakukan oleh orang tua suami kita itu adalah tidak lain hanyalah cemburu belaka, karena anak yang sedianya senantiasa selalu memperhatikannya, kini terbagi perhatiannya, bahkan kadang perhatian itu menjadi lebih sedikit terhadap kedua orang tuanya, malah lebih banyak kepada kita, sebagai istrinya. Tidak kah kita bersyukur mempunyai suami yang sholeh, maka ingatkanlah pada suami kita, untuk selalu memperhatikan orang tuanya yang sudah membesarkannya.
Bila ada kesempatan kita yang memberi kasih sayang lebih banyak pada mertua kita, sebagaimana kita memberikan kasih sayang kita pada Orang tua kita selama ini. Apa lagi bila mertua lelaki kita sudah tiada, maka ibu mertua kita butuh perhatian lebih dari anak-menantunya, bakti kita padanya, seperti bakti kita pada Ibu kita. Jangan sungkan ucapkan sayang pada beliau, agar beliau tahu kalau kita sebagai menantu tidak akan pernah mengambil hak beliau sebagai seorang ibu yang jadi tanggung jawab bagi anak lelakinya yaitu suami kita, walaupun si anak sudah menikah.
Seperti cerita yang pernah saya tulis juga, tentang kasih ibu sepanjang zaman, kasih anak sepanjang galah. Maka jangan kita biarkan suami kita hanya memberikan kasih sayangnya pada orang tuanya, terutama pada ibunya yang sudah melahirkan dan membesarkannya hanya sampai pada suami menikahi kita dan mendapat kasih sayang dari kita, serta merasa cukup. sehingga perhatian pada kedua orang taunya terabaikan. Jangan.
Ingatkan selalu pada suami kita untuk terus berbakti pada kedua orang tuanya.
Memperhatikannya, jangan sampai mertua kita berkata pada suami kita,
” Setelah kamu menikah, kamu tidak lagi memperhatikan Ibu..( Kami ) ” .
Sedihkan kita mendengarnya, karena itu suatu keluhan dari seseorang yang mempunyai doa yang makbul, yang cemburu karena kehilangan kasih sayang dari anaknya yang sudah beliau besarkan selama ini.
Kewajiban anak laki-laki dalam memberikan perhatiannya pada kedua orang tuanya, walaupun anak lelaki itu sudah menikah adalah jelas, seperti dalam sabda Rosulullah SAW.
Abdullah bin Amru bin Ash meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki meminta ijin berjihad kepada Rasulullah SAW. Beliau bertanya, “Apakah kedua orang tuamu masih hidup?” Lelaki itu menjawab, “Masih.” Beliau bersabda, “Kalau begitu, berjihadlah dengan berbuat baik terhadap keduanya.” (Riwayat Al-Bukhari dan Muslim)
Mari sayangi Mertua kita, sebagimana kita menyayangi Kedua Orang tua kita, karena di sana ada do´a untuk kebahagian rumah tangga kita. Amiin.
Wallahu´alam bisshowab.
Heidenheim 11 Maret 2009
Jangan Gunakan Lisanmu untuk Melaknat! February 24, 2009
Posted by ikět in Elmu.add a comment
Termasuk bagian dari kenikmatan yang diberikan Allah kepada hamba-Nya adalah lisan. Dengan lisan, kita dapat mengungkapkan pikiran dan perasan kita. Terkadang kita menganggap sepele atau bahkan melupakan perkara yang berhubungan dengan lisan, sehingga kita sering mendengar seseorang yang mengucapkan sesuatu yang tanpa disadari bisa menimbulkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lisan terkadang dapat mengantarkan pemiliknya ke tingkat tertinggi apabila lisan itu digunakan untuk kebaikan atau diarahkan kepada apa yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun lisan juga dapat menjerumuskan pemiliknya ke tingkat yang paling rendah, yaitu apabila lisan digunakan untuk perkara yang tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Seorang mukmin senantiasa diperintahkan untuk menjaga lisannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (QS. Al-Mukminun: 1-3)
Menjaga lisan termasuk salah satu kesempurnaan Islam seseorang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik (kualitas) keislaman kaum mukminin adalah orang yang kaum muslimin merasa aman dari (kejahatan) lisan dan tangannya. Sebaik-baik (kualitas) keimanan kaum mukminin adalah mereka yang paling baik akhlaqnya…..” (HR. Ath-Thabrani)
Sebagai seorang mukmin, penting bagi kita untuk mengetahui apa saja yang termasuk kejahatan lisan. Diantara kejahatan-kejahatan lisan tersebut adalah melaknat.
Apa itu melaknat? Melaknat memiliki dua makna, yaitu makna pertama adalah mencela dan makna kedua adalah mengusir serta menjauhkan dari rahmat Allah. Melaknat bukanlah perangai orang beriman, dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela dan bukan orang yang suka melaknat serta bukan orang yang suka bicara jorok dan kotor.” (HR. Al-Bukhari)
Banyak bahaya yang ditimbulkan karena melaknat. Di antara bahaya tersebut adalah tukang laknat tidak dimasukkan dalam golongan para syuhada dan tidak termasuk orang-orang yang memberi syafa’at disisi Allah untuk memintakan ampun bagi seseorang, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang suka melaknat tidak akan menjadi pemberi syafa’at dan tidak pula syuhada pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Melaknat juga bukan sifat para shidiqqun, disebutkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sepatutnya bagi seorang shidiqq menjadi pelaknat.” (HR. Muslim)
Lalu bagaimana jika seseorang melaknat orang lain yang tidak berhak untuk dilaknat? Jawabannya, laknat itu akan kembali pada orang yang melaknat. Dalam suatu hadits dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba apabila melaknat sesuatu, niscaya laknatnya akan naik ke langit, maka tertutuplah pintu-pintu langit hingga ia (laknat -ed) tak dapat masuk, maka kembalilah ia terhujam ke bumi, akan tetapi pintu-pintu bumi pun tertutup untuknya, maka ia berputar-putar ke kanan dan kiri, dan jika tak menemui jalan keluar (menuju sasarannya), maka ia akan tertuju pada orang yang dilaknat jika memang ia pantas untuk dilaknat, akan tetapi jika tidak pantas, maka ia akan kembali kepada orang yang mengucapkan laknat tadi.” (HR. Abu Daud)
Kadang kita mendengar orang berkata, “dasar batu sial!” atau “sial kamu!”, kata-kata ini terdengar sangat sepele, namun ketahuilah Saudariku, bahwa kita dilarang untuk mengucapkan atau melaknat sesuatu tanpa adanya keterangan dari agama bahwa sesuatu tersebut mendatangkan kesialan. Selain itu, kita juga dilarang melaknat angin, binatang, ayam jago, waktu, serta manusia tertentu, terutama seorang mukmin karena hal tersebut termasuk dosa besar. Tsabit bin Adh-Dhahhak rahimahullahu Ta’ala berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa melaknat seorang mukmin maka seakan-akan dia membunuhnya.” (HR. Al-Bukhari)
Lalu apakah ada laknat yang diperbolehkan? Jawabannya ada, yaitu melaknat pelaku kemaksiatan dari kalangan kaum muslimin tanpa menunjuk personnya. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaknat wanita yang menyambung rambutnya dan yang minta disambungkan rambutnya. Selain itu boleh juga melaknat dengan menunjuk orang terrtentu yang sudah mati untuk menjelaskan keadaannya pada manusia dan untuk kemashlahatan syari’ah. Adapun jika tidak ada maslahat syari’ah maka tidak diperbolehkan karena, dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian mencaci maki orang-orang yang telah mati, karena sesungguhnya mereka telah mendapatkan balasan dari apa yang telah mereka perbuat dahulu.” (HR. Al-Bukhari)
Seorang mukmin hendaknya tidak berkata kecuali yang baik. Perkataannya adalah suatu kejujuran, di samping sebagai perbaikan di antara manusia, amar ma’ruf nahi munkar, doa, dan ketundukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak inginkah kita termasuk orang-orang yang disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini? “Barangsiapa menjamin untukku apa yang ada diantara kedua dagunya (lisan) dan apa yang ada diantara kedua kakinya (kemaluan), maka aku akan menjamin untuknya surga.” (HR. Al-Bukhari)
Karena itu, marilah kita memohon kepada Allah Ta’ala agar melindungi kita dari kesalahan-kesalahan lisan kita serta janganlah kita merasa aman terhadap tipu daya lisan, agar kita tidak binasa dalam neraka jahim dan kerugian.
Maraji’:
- Manajemen Lisan Saat Diam Saat Bicara (Husain al-Awayisyah)
- Wahai Muslimah Dengarlah Nasehatku, edisi revisi (Ummu Abdillah Al-Wadi’iyyah)
- Tarjamah Riyadhus Shalihin (Imam Nawawi)
- Dosa-Dosa yang Dianggap Biasa (Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid)
Semoga Hari Ini Lebih Baik Lagi Dari Hari Kemarin… May 14, 2008
Posted by ikět in Elmu.add a comment
Sumber: http://www.jkmhal.com/
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
Segala puji bagi Allah, yang telah menghidupkan kembali diri ini dari
tidur yang lelap penuh nikmat… Maha Suci Allah, begitu indah dan
begitu dahsyat memulai pagi dengan dzikrullah (ingat kepada Allah).
alaa bidzikrillahi tathmainnul quluub… Ingatlah, hanya dengan
mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram…
Oleh karena itu, mari sambut pagi dengan berdzikrullah karena…
Allah, tidak ada Ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus
menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.
Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat
memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya Allah mengetahui apa-apa
yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.
Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat
memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
(QS. 2: 255)
Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Yang
Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang.
Dia-lah Allah Yang tiada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Raja,
Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan,Yang
Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki
Segala Keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa,
Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih Kepada-Nya apa
yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Bijaksana.
(QS. 59: 22-24)
Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan engkau cabut kerajaan
dari orang yang engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang kepada
malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati, dan Engkau
keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan Engkau beri rezki siapa yang
Engkau kehendaki tanpa hisab (batas)”.
(QS. 3: 26-27)
Semoga hari ini lebih baik lagi dari hari kemarin…
(aamiin..)
Orang Beriman Tercipta Dengan Penuh Cobaan May 1, 2008
Posted by ikět in Elmu.add a comment
[dr kebunhikmah.com]
Terdapat riwayat yang shahih bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Sesungguhnya seorang mukmin tercipta dalam keadaan Mufattan (penuh cobaan) , Tawwab (senang bertaubat) , dan Nassaa’ (suka lupa), (tetapi) apabila diingatkan ia segera ingat”. (Silsilah Hadits Shahih No. 2276).
Hadist ini merupakan hadits yang menjelaskan sifat-sifat orang mukmin, sifat-sifat yang senantiasa lengket dan menyatu dengan diri mereka, tiada pernah lepas hingga seolah-olah pakaian yang selalu menempel pada tubuh mereka dan tidak pernah terjauhkan dari mereka.
1. Mufattan
Artinya : Orang yang diuji (diberi cobaan) dan banyak ditimpa fitnah. Maksudnya : (orang mukmin) adalah orang yang waktu demi waktu selalu diuji oleh Allah dengan balaa’ (bencana) dan dosa-dosa. (Faid-Qadir 5/491).
Dalam hal ini fitnah (cobaan) itu akan meningkatkan keimanannya, memperkuat keyakinannya dan akan mendorong semangatnya untuk terus menerus berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebab dengan kelemahan dirinya, ia menjadi tahu betapa Maha Kuat dan Maha Perkasanya Allah, Rabb-nya.
Menurut sebuah riwayat dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Artinya : Perumpamaan orang mukmin ibarat sebatang pokok yang lentur diombang-ambing angin, kadang hembusan angin merobohkannya, dan kadang-kadang meluruskannya kembali. Demikianlah keadaannya sampai ajalnya datang. Sedangkan perumpamaan seorang munafik, ibarat sebatang pokok yang kaku, tidak bergeming oleh terpaan apapun hingga (ketika) tumbang, tumbangnya sekaligus”.
(Bukhari : Kitab Al-Mardha, Bab I, Hadist No. 5643, Muslim No. 7023, 7024, 7025, 7026, 7027).
Ya, demikianlah sifat seorang mukmin dengan keimanannya yang benar, dengan tauhidnya yang bersih dan dengan sikap iltizam (komitment)nya yang sungguh-sungguh.
2. Tawaab Nasiyy
“Artinya : Orang yang bertaubat kemudian lupa, kemudian ingat, kemudian bertaubat”. (Faid-Al Qadir 5/491).
Seorang mukmin dengan taubatnya, berarti telah mewujudkan makna salah satu sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala, yaitu sifat yang terkandung dalam nama-Nya : Al-Ghaffar (Dzat yang Maha Pengampun). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Artinya : Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat, beriman dan beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar”. (Thaha : 82).
3. Nassaa’ – Apabila Diingatkan, Ia Segera Ingat
Artinya : Bila diingatkan tentang ketaatan, ia segera bergegas melompat kepadanya, bila diingatkan tentang kemaksiatan, ia segera bertaubat daripadanya, bila diingatkan tentang kebenaran, ia segera melaksanakannya, dan bila diingatkan tentang kesalahan ia segera menjauhi dan meninggalkannya.
Ia tidak sombong, tidak besar kepala, tidak congkak dan tidak tinggi hati, tetapi ia rendah hati kepada saudara-saudaranya, lemah lembut kepada sahabat-sahabatnya dan ramah tamah kepada teman-temannya, sebab ia tahu inilah jalan Ahlul Haq (pengikut kebenaran) dan jalannya kaum mukminin yang shalihin.
Terhadap dirinya sendiri ia berbatin jujur serta berpenampilan luhur, sedangkan terhadap orang lain ia berperasaan lembut dan berahlak mulia, bersuri tauladan kepada insan teladan paling sempurna yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah diberi wasiat oleh Rabb-nya dengan firman-Nya :
“Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka …..”. (Ali Imran : 159).
Inilah sifat seorang mukmin. Ini pula jalan hidup serta manhaj perilakunya.
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdulhamid Al-Halaby . Tulisan ini diterjemahkan dari Majalah Al-Ashalah edisi 15, 16 th III -15 Dzul Qa’dah 1415H, dan dimuat di Majalah As-Sunnah edisi 07/th III/1419-1998.
May 1, 2008
Posted by ikět in nICE.add a comment
[dr kafe-muslimah]
Tuhan yang Maha baik memberi kita ikan ,
tetapi kita harus mengail untuk mendapatkannya .
Demikian juga Jika kamu terus menunggu waktu yang tepat, mungkin kamu tidak akan pernah mulai.
Mulailah sekarang…
mulailah di mana kamu berada sekarang dengan apa adanya.
Jangan pernah pikirkan kenapa kita memilih seseorang untuk dicintai, tapi sadarilah bahwa cintalah yang memilih kita untuk mencintainya.
Perkawinan memang memiliki banyak kesusahan, tetapi kehidupan lajang tidak memiliki kesenangan .
Buka mata kamu lebar-lebar sebelum menikah, dan biarkan mata kamu setengah terpejam sesudahnya.
Menikahi wanita atau pria karena kecantikannya atau ketampanannya sama seperti membeli rumah karena lapisan catnya.
Harta milik yang paling berharga bagi seorang pria di dunia ini adalah….
hati seorang wanita .
Begitu juga Persahabatan, persahabatan adalah 1 jiwa dalam 2 raga
Persahabatan sejati layaknya kesehatan, nilainya baru kita sadari setelah kita kehilangannya .
Seorang sahabat adalah yang dapat mendengarkan lagu didalam hatimu dan akan menyanyikan kembali tatkala kau lupa akan bait-baitnya .
Sahabat adalah tangan Tuhan untuk menjaga Kita.
Rasa hormat tidak selalu membawa kepada persahabatan, tapi Jangan pernah menyesal untuk bertemu dengan orang lain…
tapi menyesal-lah jika orang itu menyesal bertemu dengan kamu.
Bertemanlah dengan orang yang suka membela kebenaran.
Dialah hiasan dikala kamu senang dan perisai diwaktu kamu susah.
Namun kamu tidak akan pernah memiliki seorang teman, jika kamu mengharapkan seseorang tanpa kesalahan.
Karena semua manusia itu baik kalau kamu bisa melihat kebaikannya dan menyenangkan kalau kamu bisa melihat keunikannya tapi semua manusia itu akan buruk dan membosankan kalau kamu tidak bisa melihat keduanya.
Begitu juga Kebijakan, Kebijakan itu seperti cairan ,
kegunaannya terletak pada penerapan yang benar, orang pintar bisa gagal karena ia memikirkan terlalu banyak hal, sedangkan orang bodoh sering kali berhasil dengan melakukan tindakan tepat.
Dan Kebijakan sejati tidak datang dari pikiran kita saja, tetapi juga berdasarkan pada perasaan dan fakta.
Tak seorang pun sempurna.
Mereka yang mau belajar dari kesalahan adalah bijak.
Menyedihkan melihat orang berkeras bahwa mereka benar meskipun terbukti salah.
Apa yang berada di belakang kita dan apa yang berada di depan kita adalah perkara kecil berbanding dengan apa yang berada di dalam kita.
Kamu tak bisa mengubah masa lalu….
tetapi dapat menghancurkan masa kini dengan mengkhawatirkan masa depan .
Bila Kamu mengisi hati kamu dengan penyesalan untuk masa lalu dan kekhawatiran untuk masa depan,
Kamu tak memiliki hari ini untuk kamu syukuri ..
Jika kamu berpikir tentang hari kemarin tanpa rasa penyesalan dan hari esok tanpa rasa takut, berarti kamu sudah berada dijalan yang benar menuju sukses.